Rabu, 07 Maret 2012

Budaya yang Terkikis


Ketika saya masih duduk di bangku sekolah dasar sekitar tahun 1997, pada masa itu belum ada pembelajaran yang modern dan canggih seperti sekarang. Anak-anak seusia saya dulu belum mampu mengoperasikan alat-alat elektronik, apalagi berkomunikasi dalam bahasa asing. Kami lebih senang bermain di halaman rumah ditemani kedua orangtua. Namun, kami tergolong anak yang beruntung karena masih mengenal apa yang dinamakan tata krama kepada orang tua dan yang paling penting masih bisa berbicara menggunakan “kromo inggil” yang sekarang mulai dilupakan oleh generasi muda. Seiring dengan perkembangan zaman, budaya menggunakan “kromo inggil” untuk menghormati orangtua sudah mulai ditinggalkan. Anak-anak kecil zaman sekarang justru lebih mahir mengoperasikan komputer untuk mendesain pembelajaran mereka di sekolah atau mahir dalam berbahasa inggris daripada berbicara menggunakan “kromo inggil” sehingga ketika mereka berkomunikasi dengan kedua orangtuanya sepertinya tidak ada penghargaan dan tidak ada bedanya seperti mereka berbicara dengan temannya, yang paling mengherankan lagi mayoritas dari mereka tidak bisa berbahasa jawa padahal mereka orang jawa. Mereka sudah mengerti arti dari gengsi sehingga malu kalau dianggap orang desa ketika berbicara bahasa jawa. Padahal kalau kita renungi budaya Jawa nilainya sangat tinggi, sudah termasuk budaya yang menjadi identitas kita. Bahkan sastra jawa yang terbaik justru terdapat di Belanda bukan di Indonesia. Sayang sekali kalau kita sebagai pemilik budaya tidak mampu melestarikannya sehingga kita kehilangan lagi satu aset yang berharga dalam budaya kita.

Tidak ada komentar: